17 September 2016

Sajadah Rindu


Senja sore itu mengundang hujan ternyata. Itu kali pertama bagi Rabil merasakan kalau hujan datang tepat waktu, yaitu saat Rabil ingin menyembunyikan air matanya yang merebak. Jalanan mulai sepi, mungkin semua orang sedang bergegas merapikan diri menyambut magrib. Namun Rabil masih berjalan di jalanan yang lengang, menerobos hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya. Kakinya setengah berlari, ingin cepat sampai rumah. ‘Ayo Rabil, 500 meter lagi sampai rumah’ bisiknya sok tegar. Ia mendekap tubuhnya yang mulai kedinginan, jilbab yang dikenakannya pun sudah tak karuan. Tapi pikirannya masih terlempar jauh, menuju kenangan-kenangannya yang melambung tinggi namun mendarat penuh luka seperti hari ini. Kali ini, biarlah Rabil bercerita sedikit tentang kisahnya, kisah gadis remaja yang sewajarnya pernah merajut kasih dan merasakan fitrah cinta pada lawan jenisnya.

Ayra Bila, begitu nama panjangnya. Hanya saja ayah-ibunya sudah terbiasa memanggilnya Rabil, sehingga semua temannya pun ikut memanggilnya Rabil. Gadis 20 tahun ini tergolong supel dan menyenangkan, namun ternyata dia ringkih terhadap perasaan. Menjadi anak kuliah membuatnya sedikit berbeda. Rabil merasa dirinya sudah lebih dewasa, mampu mengontrol emosi dan lebih telaten dalam mengerjakan hal apapun. Walau kenyataannya yang dia tahu masih sehempas debu, masih nihil, ia masih jauh dari kata dewasa.

Lalu Bintang Pratama, yang teman-temannya bilang memang seorang bintang di kampusnya, adalah sosok yang juga sudah menyita detik-detik waktu Rabil, dan mencuri detak-detak hatinya. Singkat cerita, Bintang dan Rabil punya sesuatu yang hanya mereka jaga sendiri. Jauh dari obrolan orang, jauh dari nasihat orang, pokoknya hanya Bintang dan Rabil yang tahu. Rabil studi di jurusan yang berberda dengan Bintang meski di universitas yang sama, namun mereka tak sengaja bertemu di salah satu acara besar kampus. Rabil dulu sempat ragu dan ogah-ogahan kala Bintang mencoba mendekatinya, tapi seiring berjalannya waktu, hati bisa berubah bukan?

Menemukan dan memiliki seseorang yang dicintai adalah suatu anugrah. Hari-hari Rabil berubah, sedikit berbeda, eh sangat berbeda. Naluri ingin menyapa dan disapa, memberi perhatian dan diperhatikan, bertatap muka sesering mungkin, berbagi cerita sebanyak mungkin, dan berangan-angan sejauh mungkin, menderu-deru setiap harinya. Rabil belum tahu, ia belum paham resiko jatuh cinta. Yang dia tahu hanyalah menjalin hubungan yang anti mainstream, yang gak perlu orang-orang tahu. Tapi, bukankah Allah pasti tahu? Bukankah semua hubungan antara lawan jenis pasti sama? Gak ada yang anti-mainstream. Semua pasti extream dimata Islam, dimana Allah.

Menuju beberapa bulan hubungannya yang tak jelas, angan-angan Rabil bersama Bintang semakin jauh. Perihal janji setia selamanya, komitmen bersama sampai pelaminan, membangun rumah masa depan berdua bak surga, dan mimpi-mimpi besar yang sempurna membuat Rabil terlena, bahagia tingkat dewa, yakin sehidup semati bersama Bintang. Namun percayalah, itu hanya sementara. Allah sang muqollibul qulub, sang maha pembolak-balik hati yang memiliki hati setiap insan. Yang mempunyai hak tertinggi mengatur rasa dan asa setiap manusia. Rabil bisa apa? Saat pada akhirnya siang itu Bintang mengajaknya bertemu. “Kok tumben ngajakin ketemuan disini Bintang?” tanya Rabil yang sedikit aneh menatap sekitar. Ini perpustakaan kampus, dan ini kali pertamanya Bintang dan Rabil bertemu di perpus. “Ya.. gapapa, biar nyantai aja.” Jawab Bintang sekenanya. Bintang sibuk dengan beberapa buku dihadapannya. Rabil mencomot salah satu buku yang sampulnya paling eyecatching. ‘Ohh, Bintang lagi nugas ya..’ Rabil manggut-manggut mengerti. Tapi rasanya, ini juga kali pertama bagi Rabil menemani Bintang mengerjakan tugas kuliahnya. Selama ini, tiap bertemu Bintang pasti hanya untuk makan, nonton, jalan-jalan atau menemaninya bermain bola. Seingat Rabil, tidak pernah sekalipun Bintang membagi keluh kesahnya bersama Rabil, padahal Rabil sendiri seringkali mengeluh dan banyak meminta bantuan Bintang yang tentunya selalu ada untuk Rabil. Itu seperti tamparan baru, seakan-akan Rabil baru tersadar dirinya tak pernah berguna untuk Bintang. “Tang.. kamu sibuk ya? Mau aku bantu?” tanya Rabil. “Gak, kamu disitu aja nemenin ya.. atau cari buku apa gitu” sahut Bintang tanpa menghiraukan raut muka Rabil yang mulai gelisah. Apa ia benar-benar tak berguna untuk Bintang?. “Tapi tang, aku bisa bantu kamu kok. Kamu kalo ada masalah bisa cerita sama aku. Aku bisa bantu kamu apaa gitu. Kan jadinya aku bisa berguna disini. Sama Rara, Denada, Tari, kamu biasanya sambil happy-happy kalo ngerjain tugas. Pertama kali aku temenin, malah cuek gitu..” Protes Rabil tak terima. Mendengar itu Bintang berhenti membolak-balikkan bukunya. Ia melepas kacamatanya dan menatap Rabil tak mengerti. “Ra.. justru ini nih, kenapa aku gak pernah ajak kamu nemenin aku ngerjain tugas. Kamu pasti bete” Rabil mengernyit, kaget dengan jawaban Bintang. “kok kamu gitu sih tang? Aku kan cuma pengen bantu kamu.”
“Iya Ra, makasih. Tapi kamu mau bantu aku apa? Ngerjain tugasku kan kamu belum tentu ngerti. Bukannya jadi cepet kelar, eh malah jadi lama kan.. Makanya kamu diem aja disini nemenin aku, aku gak akan lama kok, ya?” Pinta Bintang penuh sabar. Namun Rabil merasa tersisih, merasa tak mampu dan tak berguna. Rabil menatap Bintang kesal dan tak percaya. “Maaf kalau aku gak pernah bisa bantu kamu ya tang..” Bintang mendesah, merasa serba salah kali itu. “Udah ya Ra.. kamu pengen tahu masalah-masalah aku? Masalah aku tuh segede gini nih, banyaaakk” Bintang merentangkan tangannya menyiratkan tumpukkan masalahnya. “Tapi kamu gak harus paham, cukup deh jadi salah satu pemanis ditengah masalah-masalah itu.” Tambahnya lagi. “Jadi aku cuma pemanis?”
“Udah dong Ra.. gak usah drama begitu, aku kan jadi capek, semua nanti gak kelar kalau dengerin kamu ngoceh terus”
“Bintang! Aku ini apanya kamu sih? Akhir-akhir ini kamu beda deh, cuek gitu..”
“Trus kamu mau aku gimana?”
“Yaa.. gimana kek, yang penting gak kayak gini.”

“Yaudah mulai sekarang kita sendiri-sendiri aja Ra.. mulai sekarang, kita fokus urusin kerjaan masing-masing aja. Kalau gak penting-penting banget mending ga usah ketemu atau sekalian gak usah kita kontakan lagi"
Deg! Rabil tersentak tegang. Rasanya mungkin dia salah dengar atau apa. Tapi, Rabil tak ingin Bintang memperjelas kata-katanya lagi, dan Rabil saat itu tak bisa mencerna apapun. Tiap kata yang terucap dari mulut Bintang terdengar tak nyaman. Apa benar Bintang memutuskan hubungannya dengan Rabil? Rabil ingin bertanya, resah. Namun ia terlalu takut menerima kenyataan. Hatinya sesak, tak tahu harus berkata apa. Dalam keadaan yang tak diduganya, Rabil akhirnya bangkit berdiri, beranjak pergi meninggalkan Bintang yang menatapnya berlalu. Kini, Rabil mengurung diri dikamar. Masih dengan mukena lengkap yang ia kenakan, selepas shalat maghrib. Rabil terduduk murung  dan tak bergeming diatas sajadah. Namun hatinya remuk, ia perlu tempat bercurah hati.
***
3 bulan telah berlalu sejak hari itu. Tak ada lagi gelisah tersisa di hati Rabil. Memang sudah tiga bulan berlalu pula Rabil kehilangan kontak dengan Bintang, awalnya terasa sulit, namun buktinya Rabil mampu untuk tidak bergantung pada laki-laki itu. Kini yang Rabil fikirkan adalah bagaimana caranya ia bisa fokus menjadi mahasiswa berkualitas dan lulus secepat mungkin. Seulas senyum terlukis diwajahnya. "Hari ini harus hebaaaatt!" seru Rabil memotivasi diri. Matahari sudah menyembul hangat menyinari pagi, tapi Rabil masih betah duduk diatas sajadahnya dengan mukena lengkap dan al-qur'an kecil ditangannya. Rabil sadar, hanya Allah-lah yang mampu menerima curahan hatinya dengan baik. Yang dengan sabarnya selalu mendengar segala gemuruh amarah dan gelisahnya, hingga akhirnya hatinya mau bersabar, bersyukur, dan ikhlas mengolesi rindu dengan hal-hal bijak. Diatas sajadah inilah Rabil mengerti, diatas sajadah ini pula Rabil berserah. Biarlah kerinduannya pada Bintang menciut, tergantikan rindu pada sang Khalik yang menggebu-gebu setiap harinya. Rabil tentunya akan mencari jawaban tentangnya dan Bintang, namun melalui jalan yang seharusnya, melalui perantara yang paling tepat dari semua yang tepat.
Share:

12 September 2016

Ikatanku dan Kakak


Malam itu, waktu berjalan sangatlah lambat. Angin masih bertiup lembut dari celah jendela kamarku yang belum sepenuhnya tertutup. Aku ingat hari itu aku banyak mengeluh, hingga lupa harus bersyukur. Air mataku merebak seketika. Aku banyak berfikir, perihal hidup yang kurasa sudah berubah, sedikit pahit dan tak adil. Pantas saja kebanyakan orang dewasa berkata bahwa mereka menginginkan masa kecilnya kembali, ingin jadi anak kecil lagi. Karena faktanya semakin dewasa, semua hal jadi masalah. Apalagi perempuan, yang konon tingkat sensitifitas dan kepekaannya lebih tinggi dibandingkan lelaki. Mungkin saat itu, aku sedang sensi, emosiku meluap-luap tak karuan. Pasalnya, belakangan ini kerjaanku banyak diprotes ibu, seperti halnya saat aku membantu ibu didapur, beres-beres rumah, pergi keluar rumah, pasti ada salahnya. Ayah pun seperti sibuk sendiri, tak terlalu akrab seperti dulu, tepatnya setelah kepulangan kakak perempuanku satu-satunya 3 bulan lalu. Aku kesal, mengingat seringnya ayah dan ibu memprioritaskan kakak, tidak hanya akhir-akhir ini tapi setelah kusadari mungkin sejak dulu juga selalu kakak yang didahulukan, bukan aku. Padahal anak ayah-ibu kan ada dua. Tapi kenapa? Kenapa hanya kakak yang ayah ibu perhatikan? Hatiku iri, dan sedikit kecewa dengan perubahan yang ada. Aku menyeka air mataku entah keberapa kalinya. Tapi, semakin kuingat semakin keras tangisanku. Masa bodoh deh orang dengar dan mengira aku kenapa-napa. Yang pasti aku mau nangis, titik!
Beberapa menit kemudian, kudengar pintu kamarku diketuk. ‘Paling Ibu’ fikirku dan tetap kuabaikan. Tak lama setelah itu, ku dengar lagi suara pintu kamarku dibuka. ‘Terserah terserah terserah! Paling ujung-ujungnya kena omel ibu!’ umpatku dalam hati. Tangisanku malah semakin menjadi, seperti halnya anak yang gagal lulus Ujian Nasional. Aku tersedu-sedu hingga akhirnya aku merasakan bahuku diusap-usap lembut, membuat tangisanku terhenti sejenak. “Yaraa.. kenapa?” Aku menoleh, ternyata itu kakak. Kak Arida, begitu panggilku. Sosok kakak yang tak begitu kukenal dekat karena dia lebih suka tinggal bersama nenek di daerah yang jauuh dari rumah. Ayah bilang kakak sedang berjuang, makanya dia lebih memilih tinggal bersama nenek. Entahlah apa maksud ayah, yang pasti semenjak kakak tidak dirumah, aku merasa jadi anak ayah ibu satu-satunya tanpa mengenal kakak.
Aku menggelengkan kepalaku, enggan menjawab. Kakak kembali mengelus-elus kali ini kepalaku. “Kalo ada masalah, cerita.. jangan uring-uringan terus nangis teriak-teriak gitu dong.. Malu ih, masa udah SMA masih cengeng yeeey.” Aku mengedikkan bahu menanggapi kata-kata kakak, tapi berhasil membuat tangisanku terhenti. “Kenapa sih Yaraa.. putus sama pacar ya?” Godanya lagi. Mendengar itu aku malah kesal sendiri. ‘Gara-gara kakak tau’ cetusku dalam hati. “Siapa yang putus? Pacar aja gak ada” Jawabku jujur. Kakak tersenyum mendengar jawabanku. “Terus kenapa dong?” Aku terdiam sejenak sambil menghapus sisa-sisa air mataku. Lalu mengatur posisi dudukku hingga akhirnya bisa menghadap kakak. Kakak pun ikut duduk disampingku, siap mendengar keluh kesahku. “Kak..” kataku membuka sesi curhat. Kakak tersenyum, sabar menunggu ceritaku.  “Yara kesal sama ayah-ibu, Kayaknya ayah-ibu udah gak sayang Yara deh.” Kakak mengernyitkan dahinya, menatapku bingung. “Kok bisa gitu?” Aku menghela napas, tak tega berbicara yang sebenarnya. Tapi aku benar-benar merasa terancam dengan keberadaan kakak. Eh, sedikit sih. Maksudku, yaa aku senang akhirnya kakak pulang, tapii aku ingin ayah-ibu juga bersikap adil sama aku. “Kok diem sih?” Tanyanya lagi. “Hmm gimana ngomongnya ya kak, Yara ngerasa ayah-ibu lebih sayang sama kakak, apalagi semenjak kakak pulang.. Yara sering banget liat ayah-ibu bolak balik kamar kakak, bawain makan apalah.. pokoknya urusan kakak jadi nomor satu kayaknya. Yara kan jadi beteee” Aku sudah menutup mataku rapat-rapat. Malu. Kakak pasti mikir kalau adiknya ini jahat banget, gak suka sama kehadiran kakaknya dirumah, kakak pasti marah-marah, kakak pasti... Tapi lama ku menunggu, tak ada reaksi. Akhirnya aku membuka mataku dan mendapati kakak sedang menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Seperti.. hmm mau menangis? Mau muntah? Eh tidak, itu ekspresi seperti sedang tahan ketawa!! Hah?
 “Wuahahahahahahhahahahahahaaaa! Yaaa raaa, maaafin kakak yaa, hahahaaa” Fix! Aku kaget dan bingung kenapa kakak ketawa nyaring begitu. Aku memandangnya semakin kesal dan menungguinya tertawa sampai dia capek! “haha .. haha .. maafin kakak ketawa keras begitu, haha..” lanjutnya lagi saat tawanya mulai surut. “Yaraaa.. Yara.. lucu aja nangis segitunya ternyata cuma gara-gara masalah sepele.” Apa?? Sepele kakak bilang? Ini masalah luar biasa besar yang selama 3 bulan belakangan ini bikin aku kejer dan frustasi gak karuan kalii. Apalagi temanku bilang katanya orang yang paling berpotensi bikin kita sakit hati itu justru orang yang paling dekat dengan kita. Terus, yang paling dekat denganku kan pastinya keluargaku. Aku mendengus kesal sampai tak sadar kalau bibirku sudah maju 5cm, BETE. “Gini lho sayang, biar kakak jelasin deh.” Kakak menggenggam tanganku erat, penuh keyakinan. “Kamu gak boleh dong, kesal sama ayah-ibu. Katanya mau sehidup-sesurgaaa..” Aku mengerlingkan mataku mengingat perkataanku sewaktu lebaran beberapa tahun lalu. ‘Ayah Ibu.. Ka Arida.. maafin Yara yaa.. maafin Yara kalo sering nakal dan banyak salahnya. Semoga Ayah.. Ibu.. Ka Arida.. sama Yara bisa seterusnya sama-sama, bisa sehidup sesurga! Hehe’ . Aku menatap mata kakak lagi, kakak tersenyum hangaaaatt sekali. “Jangan marah sama ayah-ibu yaa.. Kalo marah, nanti doamu buat ayah ibu bisa-bisa jadi jelek. Padahal yang bisa bikin ayah ibu masuk surga itu salah satunya doa-doa dari anak shalehah lho Ra..”
“ Kakak jelasin satu-satu ya.. Pertama, maafin kakak kalau selama ini kakak gak selalu ada buat kamu, dari dulu saat ayah ibu masih sibuk kerja, nenek selalu jadi sosok pengganti ayah-ibu buat kakak. Maka dari itu, kakak keterusan pengen tinggal sama nenek. Waktu kakak seumur kamu, kakak tau nenek sakit parah. Mau gak mau, kakak harus jadi anak pengganti ayah-ibu yang sibuk kan? Ngerawat nenek kita satu-satunya. Lanjut kuliah kedokteran, kakak jadi sibuk. Tapi kakak pengen bisa sembuhin nenek. Hanya saja ternyata Allah berkata lain, 4 bulan yang lalu nenek meninggal sebelum kakak sempet jadi dokter, kakak depresi berat Ra.. Kakak kehilangan orang yang paling kakak kasihi. Setelah itu, ayah-ibu minta kakak untuk pulang kerumah. Kakak nurut-nurut aja.. tapi.. pulang kerumah malah bikin kakak rindu nenek.. “ Aku melihat kakak menyeka bulir air mata di ujung matanya. “Makanya, mungkin stresnya kakak bikin ayah ibu khawatir, dan kamu jadi ngerasa kehilangan perhatian ya, maaf ya Ra.. Tapi sekarang kakak udah ikhlas kok, udah tenang bareng sama kamu.. Jadii, jangan nangis, jangan kesel sama ayah ibu. Berdoa yang baik buat ayah-ibu biar kita bisa sehidup sesurga ya!” Kakak tersenyum haru. Aku mengangguk-angguk dan memeluk kakak erat. “Yara janji gak akan suudzon lagi, maafin Yara ya kak.. “
***

Kadang, sejauh apapun jarak pernah memisahkan.. hubungan kakak-adik tetaplah yang paling spesial! 
#WrittingChallenge #SehidupSesurga
Share:

5 September 2016

I CATCH YOU, EIFFEL !

Been a while todos!

Masih di akhir bulan November 2015. Selepas landing, aku dan Citra kembali menunggu. Namun kali ini bukan penerbangan lagi yang kami tunggu, karena kami sudah di Paris! “Kita nyampe di Paris Ey!” Seru Citra bersemangat. Ia sampai-sampai tak sadar sudah mencengkram lenganku terlalu kencang saking gemasnya. Aku meringis sesaat dan ikut-ikutan semangat 45. Kami celingukan mencari seseorang yang akan membawa kami ke tengah kota. Karna ngomong-ngomong, bandara Beauvais tempat kami landing saat itu berada di pesisian kota Paris. Kami masih harus menempuh sekitar 45 menit sampai satu jam untuk bisa sampai ke tengah kota Paris dengan menaiki shuttle bus. Tetapi karena harga yang ditawarkan shuttle bus menurut kami lebih mahal dari harga tiket promo pesawatnya, maka pada akhirnya aku dan Citra memutuskan untuk memakai jasa bla-bla Car. Bisa dibilang ini semacam taxi grab atau go car. Dimana kita harus punya akun, memasukkan pencarian tujuan, dan memilih salah satu bla bla car terbaik dari penawaran harga yang variatif. Sebut saja orang yang kami pilih bla bla car nya bernama Alex. Setelah memastikan Alex masih mempunyai kursi untuk dua orang, barulah kita menyetujui untuk memakai jasanya. Kami kemudian mendapatkan nomor Alex setelah bertukar pesan lewat email yang tercantum di akun bla-bla car nya. Dan selanjutnya negosiasi harga pun bisa ditempuh via whatsapp. Sekedar info, harga yang tercantum di website bla bla car belum fix price, kalo kamu berani, masih bisa kok nego sama drivernya semisal harga itu kemahalan untuk jarak tempuh ke tempat tujuan kamu atau sebaliknya drivernya merasa jarak tempuh destinasi kamu terlalu jauh. Jadi intinya deal-deal an secara personal.

Aku berkali-kali mengecek whatsapp ku setelah mendapatkan wifi, namun belum ada balasan. Kami sudah berganti-ganti posisi, tak nyaman. Dari duduk di deretan kursi tunggu depan kios kios dalam bandara, bangkit berdiri, mondar-mandir, bahkan bolak-balik mengecek parkiran dari pintu keluar. Mungkin sedikit tak sabaran, tapi mengingat cuaca di Paris yang ternyata lebih dingin dibanding di Castellon, membuat kami terus-terusan menggigil walau dengan sweater dan jaket musim dingin. Juga, kami tak nyaman dibuntuti terus menerus kemanapun oleh gerombolan militer yang berjaga di bandara, bahkan pergi ke toilet sekalipun. Masih ingat kan, Paris attack yang terjadi tanggal 13 November 2015 lalu? Yang sedikit bikin geger dan sensi sama Islam. Kami sempat ragu untuk mengunjungi Paris mengingat kondisinya, namun kalau kata orang Jawa ‘uwes kadung’ karna tiket sudah ditangan dan sayang kalau harus di reschedule. Susah-susah dapet tiket ke Paris sampe less than 10 Euro kan?.  Maka, dengan nekad akhirnya kami tetap memutuskan untuk berangkat. Happiness bukan datang dengan sendirinya kan? Tapi kita yang ciptakan. Meski mungkin timingnya sedikit belum pas, karna yang kurasa saat itu Islamophobia masyarakat sana masih terasa meski sudah dua minggu berlalu semenjak insiden teror itu berlangsung, tapi Inshaallah, there will be good things in a everyday, isn’t it?


Setelah menunggu hampir dua jam, Alex akhirnya datang. Ternyata dia mencari satu penumpangnya lagi asal Italia, tapi belum ketemu. Aku dan Citra akhirnya bernapas lega. Kami dan Alex berkenalan sesaat lalu bergegas menuju mobilnya di pelataran parkir. Alex kalau tidak salah ingat asli orang Perancis, namun Ayah-Ibu nya asli Afrika. Dia bilang dia pernah mengunjungi Malaysia dan Sumatra, juga Brunei, juga Thailand, dan entah apalagi yang dikatakannya saat itu. Mendengar bahwa aku dan Citra berasal dari Asia, Alex menjadi sangat excited. Jadilah sepanjang perjalanan kami bertukar cerita, tentang negaraku Indonesia, dan Alex bercerita tentang kondisi Paris hari itu, walau sudah tidak terlalu tegang, namun Alex bilang kota Paris masih siaga, makanya tak heran kalau masih banyak polisi dan anggota militer berkeliaran dimana-mana. Ditengah perjalanan, akhirnya Alex bertemu dengan penumpang ketiganya. Namanya Gretta, asal Italia. Pembicaraan kami semakin menyenangkan dengan adanya Gretta. Gadis yang berusia kira-kira sekitar 20an itu sangat ramah dan supel sekali. Kami keasikan berbincang-bincang sampai tak sadar bahwa metro tujuanku dan Citra sudah didepan mata. Dengan berat hati aku akhirnya turun dari mobil, mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal. Sebelum menghilang di balik jalan, Alex kembali membuka jendela mobil dan berkata "If you come back to Paris next time, make sure to bring your husband! and stay at my house" Serunya sambil berlalu. Aku hanya bergeming, kemudian tersenyum kaku dan berkata "Oke!".

Aku dan Citra saling tatap, menghela napas sejenak mencoba menguatkan satu sama lain. Yahh, kami masih harus naik metro dua kali sebelum akhirnya benar-benar sampai di tempat istirahat. Akhirnya kami berjalan sedikit lunglai menuruni anak tangga yang membawa kami ke lorong stasiun metro. Aku mendekati ruang informasi dan bertanya jalur metro yang benar menuju villejuif. Namun kendala bahasa mulai terlihat, Ibu paruh baya yang bertugas di tempat informasi tidak terlalu mengerti ucapanku, dia terus-terusan menjawab dengan bahasa Perancis yang justru tak ku mengerti. Akhirnya dia menyodorkan leaflet yang berisi peta metro di Paris, aku menerimanya dan mengucapkan 'merci beacoup' sebelum pergi. Akhirnya kami berpetualang sendiri, sempat salah naik jurusan metro dan bertemu abang ganteng pertama yang rela mengantar kami menuju ke jurusan yang benar. Oh ya, hari itu naik metro digratiskan karena bertepatan pula dengan penyelenggaraan Konferensi Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa 2015, atau disebut COP 21 dan Paris sebagai tuan rumahnya, yang dimana bapak Presidenku juga sebenarnya datang. Hanya saja sayang tak bertemu sapa. (emang siapa loe?) haha. Maka dari itu, nyasar berkali-kali tak membuatku dan Citra menghabiskan isi kartu metro kami. Kami menaiki metro nomor 5 dari Gare d' Austerlitz dengan tujuan akhir Place d'Italle. Lalu setelah turun di Place d'Italle, kami berganti metro dan menaiki metro nomor 7 dengan destinasi akhir Villejuif Louis Aragon

Isi metro masih tetap ramai, Citra kembali mengingatkanku untuk tetap berhati-hati dengan barang yang kubawa. Aku mengangguk setuju. Setelah destinasi Villejuif Paul Vaillant-Couturier terdengar disebut dari speaker dalam metro, kami memutuskan untuk turun. Jalanan benar-benar sudah gelap saat kami sudah keluar dari stasiun metro. Tinggallah sebuah alamat yang tertera di layar hp ku untuk dicari. Aku mendekati sebuah papan digital berisi peta daerah sekitar yang terletak di dekat stasiun metro tempat kami turun tadi. "Hmm.. kayanya ke situ deh, sama kan nih, nama jalannya? rue .." aku menunjuk ke arah kanan sembari menatap bolak balik antara layar hp dan peta digital itu. "Masa sih Ey, kayanya ke kiri deh" sahut Citra. "eh, atau lurus!" tambahnya. Jadilah kami semakin bingung, berada di tengah-tengah perempatan dan buta arah. Namun entah datang dari mana, seseorang mengetuk papan digital depan kami dan memberi isyarat pada kami untuk mengikutinya. Sosok abang ganteng kedua dengan rambut gondrong itu langsung berjalan lebih dahulu didepan kami. Aku sempat takut sedikit, tapi kemudian mencoba positif thinking. Mungkin saja sedari tadi abang itu mendengar percakapanku dan Citra yang menyebut-nyebut nama jalan tujuan kami. Tapi, dia kan tak tahu nomor rumahnya. Akhirnya aku mencoba membuka percakapan dengan 'excuse moi' berkali-kali, tapi sepertinya dia tak dengar. Karena oh, dia ternyata memakai earphone, pantas saja dia berjalan dengan gaya sok asik (menurut pengamatanku dari belakang), mungkin sambil mendengarkan musik? atau telpon?. Dipanggil gak nyaut, aku mempercepat jalanku sampai hampir menjajarinya. Aku menepuk bahunya dan gotcha! finally dia menoleh. Kusodorkan hp ku yang menampilkan catatan alamat rumah yang kami tuju, berharap dia paham dengan maksudku yang menunjukkan lebih detail nomor rumah tersebut. Dia hanya mengangguk sok cool dan kembali berjalan mendului kami. Fix! Kali ini aku baru ragu, jangan-jangan dia mau nyulik atau bawa kami ke tempat yang bahaya. Semakin liar imajinasiku, semakin agak jauh pula kami berjalan. Namun tiba-tiba dia berhenti dan menunjuk salah satu pagar rumah di pinggir kami. Aku dan Citra celingukan sesaat, tapi langsung buru-buru melihat nomor yang tertera di rumah itu. Ternyata itu rumah tujuan kami! Kemudian kami melirik abang tadi yang ternyata sudah melanjutkan jalannya. Aku setengah berteriak mengucapkan terimakasih, namun dia tak berbalik, hanya tangan kirinya saja yang terangkat seperti mengisyaratkan 'no problemo'. Huh dasar abang sok cool! Umpatku dalam hati, namun tetap bersyukur dan penuh rasa terimakasih pada abang tadi, meski sempat su'udzon. hehe.. Yang terbayang di benak kami selanjutnya adalah mandi, makan, dan tidur. Karena besokkk.. besok will be a great day!


***
Keesokan paginya sekitar pukul 9, aku dan Citra sudah siap jalan-jalan. Berbekal beberapa roti dan sebotol air keran, juga catatan kecil yang berisi deretan nama-nama tempat yang akan kami kunjungi di Paris. Oya! dan tak lupa leaflet berisi peta jalur metro-nya. Pertama-tama kami kembali berjalan menuju stasiun metro terdekat. Kali ini, tujuan pertama kami adalah Mesjid besar Paris. Aku tak sabar tentunya ingin melihat seperti apa rumah Allah dikota mode ini. Setelah menaiki metro jalur 7 dan berhenti di Place Monge, kami keluar stasiun metro dan mulai mencari Mosque de Paris. "Dimana mesjidnya nih ey?" tanya Citra kebingungan. Aku pun bingung karna yang kami lihat setelah keluar dari stasiun metro adalah jalanan besar yang agak sepi. Bangunan-bangunan besar bergaya Eropa berjejer menjulang mengelilingi daerah itu. Alhasil, kami jadi benar-benar tak tahu arah harus kemana mencari mesjid itu. "Udah jalan dulu aja yuk" kataku yang disetujui Citra. Kami menelusuri pedestrian sambil celingukan bingung dan setengah terpana mengagumi tata kota ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada wanita paruh baya yang terlihat sedang merapikan tanaman di halamannya. Aku mendekati pagar rumahnya dan wanita itu tersenyum saat menyadari kehadiranku. "excuse moa? je yu dimongdi, u e moske de pari?" Itu yang seingatku kutanyakan pada wanita itu. Entah gimana nulisnya yang bener, yang pasti artinya semacam 'permisi, saya mau tanya mesjid Paris di mana ya?'. Wanita itu kemudian mengangguk-angguk dan berceloteh dengan bahasanya. Meski tak paham yang dia katakan, tapi setidaknya ku mengerti gerakan tangannya. Lurussss, belok kiri, belok kanan, seperti itu. Aku mengucapkan terimakasih sebelum berlalu mengikuti arahan dari wanita itu. Luruss, belok kiri di belokan pertama, dan belok kanan. Woow! Aku terpaku sesaat. Kaget tentunya.  

Masjid itu berdiri megah didepan kami, namun tidak seperti kebanyakan mesjid-mesjid di Indonesia. Bangunan luarnya di benteng tinggi-tinggi, dan yang paling mengejutkan adalah banyaknya anggota polisi dan militer berseragam yang berjaga didepan mesjid. Kami sempat merinding sesaat, namun akhirnya memutuskan untuk masuk. Alhamdulilahnya, kami bertemu bapak-bapak seperti kyai tanpa sorban. Beliau sangat ramah walau sebenarnya tak satupun yang kami pahami dari ucapannya, kecuali saat pertama kali dia bertanya apakah kami seorang muslim. Saat itu, kami menyempatkan diri untuk shalat dhuha dan berkeliling sesaat. Setelah puas mengunjungi masjid besar di Paris, aku dan Citra memutuskan untuk melanjutkan petualangan kami menuju museu du Louvre. Dari Louvre, kami hendak mencari stasiun metro untuk sampai di ikon paling hits di Paris. Namun ternyata dari Louvre, tower itu sudah terlihat! Kami loncat-loncat kegirangan, dan tanpa sadar sudah berlari-lari menuju arah menara Eiffel. Tapi ternyata, setelah berjalan lumayan jauh dari Louvre, menara itu tak kunjung mendekat. Akhirnya kami beristirahat sesaat di kursi taman yang menghadap langsung ke bentangan sungai Seine. Menara itu sudah dekat, namun sebenarnya masih lumayan jauh. Maka dari itu, seharusnya kami naik metro saja tadi. 

Beberapa menit setelah itu kami kembali berjalan menyusuri jalan disamping Seine river, sambil tak henti-henti menatapnya penuh takjub. Setelah melewati sungai, kami kembali melewati daerah pertokoan dan flat-flat tinggi. Hingga akhirnya saat kami berbelok ke kanan, finally I see you! Menara itu bak raksasa yang menurutku terlalu besar dan agak menyeramkan dilihat dari dekat. Haha. Namun tetap saja hati kami seakan membuncah, aku dan Citra langsung berlari mendekati menara itu dengan sisa kekuatan kami. MasyaAllah! 




Share: