Senar yang dia petik terdengar kasar. Gerak jari tangan kirinya pun terlihat kaku menekan fret gitar itu. Bibirnya sudah tak sinkron dengan posisi microphon, dan nyanyiannya? hanya sebatas kata-kata yang keluar, tak lagi menyentuh kalbu. Tatapannya kali ini sangat gusar, seperti tak nyaman lagi melantunkan lagu, tak menyatu lagi dengan nada. Ada apa?
Aku mungkin hanya penonton, satu dari jutaan insan yang hanya mampu merindu dari kejauhan, menjaga secara sembunyi, dan memanjatkan pengharapan yang terbaik dalam sepi.
Akulah yang menangis saat dia sakit, akulah yang terluka saat dia sedih, dan akulah yang risau saat dia tak ada.
Aku yang bahagia saat dia tersenyum, aku yang berseri-seri saat melihatnya berjuang, dan aku yang bangga saat dia berhasil.
Namun aku juga yang ingin merengkuhnya saat dia jatuh, aku yang ingin membelainya saat dia gagal, dan aku yang ingin menyayanginya saat dunia mungkin menjauhinya.
Maka dari itu, katakan padaku ada apa, nak?
***
Desember telah menyapa sejak 20 hari yang lalu. Anginnya tak pernah berhenti berhembus, bahkan hujan tak jarang ikut datang menemaninya. Malam ini aku belum terlelap, padahal jarum jam telah bergerak menuju angka satu. Aku hanya berbaring di atas ranjang tua yang tak kunjung jadi kasur empuk. Bunyi 'krek-krek besi ranjang tua ini ternyata sudah hampir 23 tahun mengusik setiap tidurku. Namun kenyataannya yang tak pernah menggangguku, malah membuatku berfikir semalaman. Apakah ini rasa nyaman? atau hanya perasaan yang hadir karena terbiasa?.
Lama aku termenung, namun tak kunjung kutemukan jawabannya hingga akhirnya aku terlelap juga.
Esoknya, seperti biasa aku pergi meninggalkan rumah dengan menenteng tas gitarku. Menyapa kawan satu band dan bermusik seharian telah menjadi makanan sehari-hari ku. Bersama mereka aku merasa menjadi seseorang yang produktif, walau sebenarnya bukan dengan jalan ini aku ingin membanggakan diriku.
Malamnya, kami dapat job yang lumayan. Manggung di tengah kota yang ramai akan selalu jadi pengalaman hebat untuk kami. Aku mulai check sound setelah pasti menyapu pandangan untuk mengenali venue, luas tempat, jarak penonton, atau untuk sekedar memperhatikan titik-titik listrik, posisi snake cable, monitor, tiang-tiang, dan lainnya. Jaga-jaga karena setiap personil membutuhkan space yang berbeda, begitu juga denganku. Penampilan kami akan dimulai sesaat lagi, sambil menunggu yang lain memastikan instrumen masing-masing telah sempurna, aku mengedarkan pandangan ke arah penonton yang mulai berdatangan. Dari mulai anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, dan beberapa gerombolan orang yang sepertinya baru pulang kantor atau apalah. Hmm.. membuat iri sejenak. Menapaki jenjang pendidikan yang tinggi sudah menjadi hal yang tak mungkin rasanya, apalagi bekerja kantoran seperti orang-orang itu. Padahal mungkin, itu adalah hal yang paling kuinginkan.
"Haida, ayok mulai!" Aku tersontak kaget mendengar seruan basist band kami, namun segera mengontrol diri. Rupanya semua sudah siap dan panitia hendak memberi aba-aba untuk memulai pertunjukkan. Selang beberapa menit, aku sudah memainkan tanganku diatas senar-senar gitar, dan lagu Truly, Madly, Deeply by Savages Garden mulai kulantunkan.
Pandanganku tak pernah berhenti menyapu penonton. Satu dua dan banyak orang yang ikut bernyanyi dengan suara lantang. "ohh ~ truly madly deeply do" . Aku ikut tersenyum melihat banyak orang terhibur karna penampilan kami. Termasuk dia, sosok yang tiba-tiba kudapati diantara kerumunan penonton sedang tersenyum kearahku. Aku sempat terperangah, tak percaya sesaat, namun kupaksakan lagi untuk bernyanyi. 'Kenapa juga dia disini?' pikirku dalam hati.
Satu lagu telah kami mainkan, dan lagu kedua yang akan kami bawakan juga masih lagu dari Savages Garden yang berjudul I knew I loved you. Kali ini Karin, basist band kami yang ambil alih mic untuk cuap-cuap. "Gimanaaa semuaaa?? Are you ready for another song???? Tanya Karin yang diikuti riuh ramai dan sorak excited dari penonton. ' Well, lagu kedua yang akan kita bawakan masih lagu dari penyanyi yang sama, namun pastinya beda judul dong yaa. Untuk lagu kedua ini, akan kami persembahkan untuk semua penonton yang ada disini umumnya, dan spesialnyaaaa juga untuk memperingati hari bahagia, selamat hari Ibu untuk semua wanita-wanita hebat yang ada disini!!! Ini dia, I knew I loved you, selamat menikmati. Let's go, Haida!!" Seru Karin menggebu-gebu yang ditemani derai tepuk tangan penonton. Tek-tek, jreng!
"Maybe it's intuition~ But some things you just don't question
Like in your eyes~ I see my future in an instant and there it goes
I think I found my best friend
I know that it might sound more than a little crazy but i believe~"
Hari Ibu katanya?? Aku bahkan baru sadar kalau lagu ini sengaja dibawakan untuk memperingati hari Ibu. Pantas saja, tak sedikit remaja yang datang sembari menggandeng Ibunya masing-masing. Kenapa aku baru sadar sih, kalau acara ini juga diadakan untuk menyambut hari Ibu!!
Jrengg!! Hah! Aku salah kunci!. Keringat dingin mulai menetes di pelipisku, aku kehilangan fokus. Sampai mana aku bernyanyi? Oya, bagian refrein. Namun sekuat-kuatnya aku berusaha menyembunyikan kegugupanku dan kembali fokus, ternyata sulit. Pikiranku berloncatan kesana-kemari. Hari Ibu? Hari bahagia untuk Ibu? Ibu yang mana? Ibu yang senantiasa aku kecewakan? Ibu yang senantiasa aku abaikan karena keegoisanku? Ibu yang secara tak langsung aku benci hanya karena tak bisa membuatku seperti anak-anak lain? Ibu yang selama ini jarang aku banggakan? Dan ibu yang seharusnya selama ini aku sayangi dan hormati?.
Tanganku gemetar, tak sanggup lagi menekan fret-fret gitar, suaraku mulai parau, dan mataku kini mengabur. Karin dan yang lainnya sampai kebingungan melihatku, begitu juga dengan penonton yang kecewa. Air mataku tiba-tiba jatuh tak terbendung, aku meremas mic yang ada dihadapanku kuat-kuat. Ini sungguh tak adil, dan aku yang selama ini bertindak tak adil. Bukan salah Ibu kalau ibu tak mampu menyekolahkanku setinggi teman-temanku. Karena itu mungkin belum rezekiku. Bukan salah Ibu..
Aku tersedu, membuat semua orang kebingungan. Namun akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara. " Maaf semuanyaa.. Karena berhenti di tengah nyanyian. Mendengar bahwa acara ini dibuat untuk menyambut har ibu, aku sedikit kaget dan sedih. Melihat banyak diantara kalian yang sengaja datang kesini dengan Ibu masing-masing, aku semakin sedih.. Karena tak mampu melakukan hal yang sama. Maka dari itu, untuk seseorang yang ada disana, yang mungkin sedang melihatku saat ini, maafkan aku.. Maafkan anakmu, bu.. Atas semua keegoisan dan kelalaianku sebagai anak. Maafkan aku, bu.. Karena sering menyakiti hari ibu, melupakan nasihat ibu, dan membuatmu terus-terusan khawatir. Juga terimakasih bu, atas semuanya. Terimakasih bu, karena hari ini aku tahu Ibu sangat peduli padaku, ibu selalu mendukungku, memperhatikanku, dan menyayangiku. Ibuuu, selamat hari Ibu, dan ini lagu untuk Ibu.." Aku tersenyum dan cepat menghapus sisa-sia air mataku. Meski dengan suara yang masih serak, lagu kembali kulantunkan. Dan kali ini, lagu Itu berhasil kami nyanyikan sampai habis.
"I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I lovved you before I met you, I have been waiting all my life~~"
Kami mendapatkan tepuk tangan yang meriah dan sorakan penonton yang meminta kami untuk membawakan lagu lainnya. Namun apa boleh buat, kontrak kami hanya membawakan dua buah lagu. Malam itu sepertinya aku lega sekali. Aku ingin memeluk Ibu.
***
Sesampainya dirumah, aku mendapati Ibu dikamarku. Aku meletakkan gitarku sembarang, dan menghampiri Ibu. Ibu menepuk-nepuk tepi kasur menyuruhku duduk. Aku duduk disamping ibu, dan entah datang dari mana keberanianku, aku tak lagi malu-malu. Aku memeluk Ibu erat, dan air mataku kembali merebak. Ibu mencium kepalaku dan mengelus-elus rambutku tanpa banyak bicara.
Subuhnya aku terbangun dengan perasaan yang sangat ringan. Sepertinya tadi malam aku tertidur sangat nyenyak. Kali ini aku tersenyum, aku mengerti sekarang. Kenapa aku bisa selalu tidur dengan nyaman di ranjang tua ini.
- The End -
0 comments:
Post a Comment