Malam itu, waktu berjalan sangatlah lambat. Angin masih bertiup lembut dari celah jendela kamarku yang belum sepenuhnya tertutup. Aku ingat hari itu aku banyak mengeluh, hingga lupa harus bersyukur. Air mataku merebak seketika. Aku banyak berfikir, perihal hidup yang kurasa sudah berubah, sedikit pahit dan tak adil. Pantas saja kebanyakan orang dewasa berkata bahwa mereka menginginkan masa kecilnya kembali, ingin jadi anak kecil lagi. Karena faktanya semakin dewasa, semua hal jadi masalah. Apalagi perempuan, yang konon tingkat sensitifitas dan kepekaannya lebih tinggi dibandingkan lelaki. Mungkin saat itu, aku sedang sensi, emosiku meluap-luap tak karuan. Pasalnya, belakangan ini kerjaanku banyak diprotes ibu, seperti halnya saat aku membantu ibu didapur, beres-beres rumah, pergi keluar rumah, pasti ada salahnya. Ayah pun seperti sibuk sendiri, tak terlalu akrab seperti dulu, tepatnya setelah kepulangan kakak perempuanku satu-satunya 3 bulan lalu. Aku kesal, mengingat seringnya ayah dan ibu memprioritaskan kakak, tidak hanya akhir-akhir ini tapi setelah kusadari mungkin sejak dulu juga selalu kakak yang didahulukan, bukan aku. Padahal anak ayah-ibu kan ada dua. Tapi kenapa? Kenapa hanya kakak yang ayah ibu perhatikan? Hatiku iri, dan sedikit kecewa dengan perubahan yang ada. Aku menyeka air mataku entah keberapa kalinya. Tapi, semakin kuingat semakin keras tangisanku. Masa bodoh deh orang dengar dan mengira aku kenapa-napa. Yang pasti aku mau nangis, titik!
Beberapa menit kemudian, kudengar pintu kamarku diketuk. ‘Paling
Ibu’ fikirku dan tetap kuabaikan. Tak lama setelah itu, ku dengar lagi suara
pintu kamarku dibuka. ‘Terserah terserah terserah! Paling ujung-ujungnya kena
omel ibu!’ umpatku dalam hati. Tangisanku malah semakin menjadi, seperti halnya
anak yang gagal lulus Ujian Nasional. Aku tersedu-sedu hingga akhirnya aku
merasakan bahuku diusap-usap lembut, membuat tangisanku terhenti sejenak.
“Yaraa.. kenapa?” Aku menoleh, ternyata itu kakak. Kak Arida, begitu panggilku.
Sosok kakak yang tak begitu kukenal dekat karena dia lebih suka tinggal bersama
nenek di daerah yang jauuh dari rumah. Ayah bilang kakak sedang berjuang,
makanya dia lebih memilih tinggal bersama nenek. Entahlah apa maksud ayah, yang
pasti semenjak kakak tidak dirumah, aku merasa jadi anak ayah ibu satu-satunya
tanpa mengenal kakak.
Aku menggelengkan kepalaku, enggan menjawab. Kakak kembali
mengelus-elus kali ini kepalaku. “Kalo ada masalah, cerita.. jangan
uring-uringan terus nangis teriak-teriak gitu dong.. Malu ih, masa udah SMA
masih cengeng yeeey.” Aku mengedikkan bahu menanggapi kata-kata kakak, tapi
berhasil membuat tangisanku terhenti. “Kenapa sih Yaraa.. putus sama pacar ya?”
Godanya lagi. Mendengar itu aku malah kesal sendiri. ‘Gara-gara kakak tau’
cetusku dalam hati. “Siapa yang putus? Pacar aja gak ada” Jawabku jujur. Kakak
tersenyum mendengar jawabanku. “Terus kenapa dong?” Aku terdiam sejenak sambil
menghapus sisa-sisa air mataku. Lalu mengatur posisi dudukku hingga akhirnya
bisa menghadap kakak. Kakak pun ikut duduk disampingku, siap mendengar keluh
kesahku. “Kak..” kataku membuka sesi curhat. Kakak tersenyum, sabar menunggu
ceritaku. “Yara kesal sama ayah-ibu,
Kayaknya ayah-ibu udah gak sayang Yara deh.” Kakak mengernyitkan dahinya,
menatapku bingung. “Kok bisa gitu?” Aku menghela napas, tak tega berbicara yang
sebenarnya. Tapi aku benar-benar merasa terancam dengan keberadaan kakak. Eh,
sedikit sih. Maksudku, yaa aku senang akhirnya kakak pulang, tapii aku ingin
ayah-ibu juga bersikap adil sama aku. “Kok diem sih?” Tanyanya lagi. “Hmm
gimana ngomongnya ya kak, Yara ngerasa ayah-ibu lebih sayang sama kakak,
apalagi semenjak kakak pulang.. Yara sering banget liat ayah-ibu bolak balik
kamar kakak, bawain makan apalah.. pokoknya urusan kakak jadi nomor satu
kayaknya. Yara kan jadi beteee” Aku sudah menutup mataku rapat-rapat. Malu.
Kakak pasti mikir kalau adiknya ini jahat banget, gak suka sama kehadiran
kakaknya dirumah, kakak pasti marah-marah, kakak pasti... Tapi lama ku
menunggu, tak ada reaksi. Akhirnya aku membuka mataku dan mendapati kakak
sedang menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Seperti.. hmm mau menangis?
Mau muntah? Eh tidak, itu ekspresi seperti sedang tahan ketawa!! Hah?
“Wuahahahahahahhahahahahahaaaa! Yaaa raaa,
maaafin kakak yaa, hahahaaa” Fix! Aku kaget dan bingung kenapa kakak ketawa
nyaring begitu. Aku memandangnya semakin kesal dan menungguinya tertawa sampai
dia capek! “haha .. haha .. maafin kakak ketawa keras begitu, haha..” lanjutnya
lagi saat tawanya mulai surut. “Yaraaa.. Yara.. lucu aja nangis segitunya
ternyata cuma gara-gara masalah sepele.” Apa?? Sepele kakak bilang? Ini masalah
luar biasa besar yang selama 3 bulan belakangan ini bikin aku kejer dan frustasi
gak karuan kalii. Apalagi temanku bilang katanya orang yang paling berpotensi
bikin kita sakit hati itu justru orang yang paling dekat dengan kita. Terus,
yang paling dekat denganku kan pastinya keluargaku. Aku mendengus kesal sampai
tak sadar kalau bibirku sudah maju 5cm, BETE. “Gini lho sayang, biar kakak
jelasin deh.” Kakak menggenggam tanganku erat, penuh keyakinan. “Kamu gak boleh
dong, kesal sama ayah-ibu. Katanya mau sehidup-sesurgaaa..” Aku mengerlingkan
mataku mengingat perkataanku sewaktu lebaran beberapa tahun lalu. ‘Ayah
Ibu.. Ka Arida.. maafin Yara yaa.. maafin Yara kalo sering nakal dan banyak
salahnya. Semoga Ayah.. Ibu.. Ka Arida.. sama Yara bisa seterusnya sama-sama,
bisa sehidup sesurga! Hehe’ . Aku menatap mata kakak lagi, kakak tersenyum
hangaaaatt sekali. “Jangan marah sama ayah-ibu yaa.. Kalo marah, nanti doamu
buat ayah ibu bisa-bisa jadi jelek. Padahal yang bisa bikin ayah ibu masuk
surga itu salah satunya doa-doa dari anak shalehah lho Ra..”
“ Kakak jelasin satu-satu ya.. Pertama, maafin kakak kalau selama
ini kakak gak selalu ada buat kamu, dari dulu saat ayah ibu masih sibuk kerja,
nenek selalu jadi sosok pengganti ayah-ibu buat kakak. Maka dari itu, kakak
keterusan pengen tinggal sama nenek. Waktu kakak seumur kamu, kakak tau nenek
sakit parah. Mau gak mau, kakak harus jadi anak pengganti ayah-ibu yang sibuk kan?
Ngerawat nenek kita satu-satunya. Lanjut kuliah kedokteran, kakak jadi sibuk.
Tapi kakak pengen bisa sembuhin nenek. Hanya saja ternyata Allah berkata lain,
4 bulan yang lalu nenek meninggal sebelum kakak sempet jadi dokter, kakak
depresi berat Ra.. Kakak kehilangan orang yang paling kakak kasihi. Setelah
itu, ayah-ibu minta kakak untuk pulang kerumah. Kakak nurut-nurut aja.. tapi..
pulang kerumah malah bikin kakak rindu nenek.. “ Aku melihat kakak menyeka
bulir air mata di ujung matanya. “Makanya, mungkin stresnya kakak bikin ayah
ibu khawatir, dan kamu jadi ngerasa kehilangan perhatian ya, maaf ya Ra.. Tapi
sekarang kakak udah ikhlas kok, udah tenang bareng sama kamu.. Jadii, jangan
nangis, jangan kesel sama ayah ibu. Berdoa yang baik buat ayah-ibu biar kita
bisa sehidup sesurga ya!” Kakak tersenyum haru. Aku mengangguk-angguk dan
memeluk kakak erat. “Yara janji gak akan suudzon lagi, maafin Yara ya kak.. “
***
Kadang, sejauh apapun jarak pernah memisahkan.. hubungan kakak-adik
tetaplah yang paling spesial!
#WrittingChallenge #SehidupSesurga
0 comments:
Post a Comment