Senja
sore itu mengundang hujan ternyata. Itu kali pertama bagi Rabil merasakan kalau
hujan datang tepat waktu, yaitu saat Rabil ingin menyembunyikan air matanya
yang merebak. Jalanan mulai sepi, mungkin semua orang sedang bergegas merapikan
diri menyambut magrib. Namun Rabil masih berjalan di jalanan yang lengang,
menerobos hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya. Kakinya setengah berlari,
ingin cepat sampai rumah. ‘Ayo Rabil, 500 meter lagi sampai rumah’ bisiknya sok
tegar. Ia mendekap tubuhnya yang mulai kedinginan, jilbab yang dikenakannya pun
sudah tak karuan. Tapi pikirannya masih terlempar jauh, menuju
kenangan-kenangannya yang melambung tinggi namun mendarat penuh luka seperti hari ini. Kali ini, biarlah Rabil bercerita sedikit tentang kisahnya, kisah gadis
remaja yang sewajarnya pernah merajut kasih dan merasakan fitrah cinta pada
lawan jenisnya.
Ayra
Bila, begitu nama panjangnya. Hanya saja ayah-ibunya sudah terbiasa
memanggilnya Rabil, sehingga semua temannya pun ikut memanggilnya Rabil. Gadis
20 tahun ini tergolong supel dan menyenangkan, namun ternyata dia ringkih
terhadap perasaan. Menjadi anak kuliah membuatnya sedikit berbeda. Rabil merasa
dirinya sudah lebih dewasa, mampu mengontrol emosi dan lebih telaten dalam
mengerjakan hal apapun. Walau kenyataannya yang dia tahu masih sehempas debu,
masih nihil, ia masih jauh dari kata dewasa.
Lalu
Bintang Pratama, yang teman-temannya bilang memang seorang bintang di
kampusnya, adalah sosok yang juga sudah menyita detik-detik waktu Rabil, dan mencuri
detak-detak hatinya. Singkat cerita, Bintang dan Rabil punya sesuatu yang hanya
mereka jaga sendiri. Jauh dari obrolan orang, jauh dari nasihat orang, pokoknya
hanya Bintang dan Rabil yang tahu. Rabil studi di jurusan yang berberda dengan
Bintang meski di universitas yang sama, namun mereka tak sengaja bertemu di
salah satu acara besar kampus. Rabil dulu sempat ragu dan ogah-ogahan kala
Bintang mencoba mendekatinya, tapi seiring berjalannya waktu, hati bisa berubah
bukan?
Menemukan
dan memiliki seseorang yang dicintai adalah suatu anugrah. Hari-hari Rabil
berubah, sedikit berbeda, eh sangat berbeda. Naluri ingin menyapa dan disapa,
memberi perhatian dan diperhatikan, bertatap muka sesering mungkin, berbagi
cerita sebanyak mungkin, dan berangan-angan sejauh mungkin, menderu-deru setiap
harinya. Rabil belum tahu, ia belum paham resiko jatuh cinta. Yang dia tahu
hanyalah menjalin hubungan yang anti mainstream, yang gak perlu orang-orang
tahu. Tapi, bukankah Allah pasti tahu? Bukankah semua hubungan antara lawan
jenis pasti sama? Gak ada yang anti-mainstream. Semua pasti extream dimata
Islam, dimana Allah.
Menuju
beberapa bulan hubungannya yang tak jelas, angan-angan Rabil bersama Bintang
semakin jauh. Perihal janji setia selamanya, komitmen bersama sampai pelaminan,
membangun rumah masa depan berdua bak surga, dan mimpi-mimpi besar yang
sempurna membuat Rabil terlena, bahagia tingkat dewa, yakin sehidup semati
bersama Bintang. Namun percayalah, itu hanya sementara. Allah sang muqollibul qulub, sang maha
pembolak-balik hati yang memiliki hati setiap insan. Yang mempunyai hak
tertinggi mengatur rasa dan asa setiap manusia. Rabil bisa apa? Saat pada
akhirnya siang itu Bintang mengajaknya bertemu. “Kok tumben ngajakin ketemuan
disini Bintang?” tanya Rabil yang sedikit aneh menatap sekitar. Ini
perpustakaan kampus, dan ini kali pertamanya Bintang dan Rabil bertemu di
perpus. “Ya.. gapapa, biar nyantai aja.” Jawab Bintang sekenanya. Bintang sibuk
dengan beberapa buku dihadapannya. Rabil mencomot salah satu buku yang
sampulnya paling eyecatching. ‘Ohh, Bintang lagi nugas ya..’ Rabil
manggut-manggut mengerti. Tapi rasanya, ini juga kali pertama bagi Rabil
menemani Bintang mengerjakan tugas kuliahnya. Selama ini, tiap bertemu Bintang
pasti hanya untuk makan, nonton, jalan-jalan atau menemaninya bermain bola.
Seingat Rabil, tidak pernah sekalipun Bintang membagi keluh kesahnya bersama
Rabil, padahal Rabil sendiri seringkali mengeluh dan banyak meminta bantuan
Bintang yang tentunya selalu ada untuk Rabil. Itu seperti tamparan baru,
seakan-akan Rabil baru tersadar dirinya tak pernah berguna untuk Bintang. “Tang..
kamu sibuk ya? Mau aku bantu?” tanya Rabil. “Gak, kamu disitu aja nemenin ya..
atau cari buku apa gitu” sahut Bintang tanpa menghiraukan raut muka Rabil yang
mulai gelisah. Apa ia benar-benar tak berguna untuk Bintang?. “Tapi tang, aku
bisa bantu kamu kok. Kamu kalo ada masalah bisa cerita sama aku. Aku bisa bantu
kamu apaa gitu. Kan jadinya aku bisa berguna disini. Sama Rara, Denada, Tari, kamu biasanya sambil happy-happy kalo ngerjain tugas. Pertama kali aku temenin, malah cuek gitu..” Protes Rabil tak terima. Mendengar itu Bintang berhenti
membolak-balikkan bukunya. Ia melepas kacamatanya dan menatap Rabil tak
mengerti. “Ra.. justru ini nih, kenapa aku gak pernah ajak kamu nemenin aku
ngerjain tugas. Kamu pasti bete” Rabil mengernyit, kaget dengan jawaban Bintang.
“kok kamu gitu sih tang? Aku kan cuma pengen bantu kamu.”
“Iya
Ra, makasih. Tapi kamu mau bantu aku apa? Ngerjain tugasku kan kamu belum tentu
ngerti. Bukannya jadi cepet kelar, eh malah jadi lama kan.. Makanya kamu diem
aja disini nemenin aku, aku gak akan lama kok, ya?” Pinta Bintang penuh sabar.
Namun Rabil merasa tersisih, merasa tak mampu dan tak berguna. Rabil menatap
Bintang kesal dan tak percaya. “Maaf kalau aku gak pernah bisa bantu kamu ya
tang..” Bintang mendesah, merasa serba salah kali itu. “Udah ya Ra.. kamu
pengen tahu masalah-masalah aku? Masalah aku tuh segede gini nih, banyaaakk”
Bintang merentangkan tangannya menyiratkan tumpukkan masalahnya. “Tapi kamu gak
harus paham, cukup deh jadi salah satu pemanis ditengah masalah-masalah itu.” Tambahnya
lagi. “Jadi aku cuma pemanis?”
“Udah
dong Ra.. gak usah drama begitu, aku kan jadi capek, semua nanti gak kelar
kalau dengerin kamu ngoceh terus”
“Bintang!
Aku ini apanya kamu sih? Akhir-akhir ini kamu beda deh, cuek gitu..”
“Trus
kamu mau aku gimana?”
“Yaa..
gimana kek, yang penting gak kayak gini.”
“Yaudah mulai sekarang kita sendiri-sendiri aja Ra.. mulai sekarang, kita fokus urusin kerjaan masing-masing aja. Kalau gak penting-penting banget mending ga usah ketemu atau sekalian gak usah kita kontakan lagi"
Deg! Rabil tersentak tegang. Rasanya mungkin dia salah dengar atau apa. Tapi, Rabil tak ingin Bintang memperjelas kata-katanya lagi, dan Rabil saat itu tak bisa mencerna apapun. Tiap kata yang terucap dari mulut Bintang terdengar tak nyaman. Apa benar Bintang memutuskan hubungannya dengan Rabil? Rabil ingin bertanya, resah. Namun ia terlalu takut menerima kenyataan. Hatinya sesak, tak tahu harus berkata apa. Dalam keadaan yang tak diduganya, Rabil akhirnya bangkit berdiri, beranjak pergi meninggalkan Bintang yang menatapnya berlalu. Kini, Rabil mengurung diri dikamar. Masih dengan mukena lengkap yang ia kenakan, selepas shalat maghrib. Rabil terduduk murung dan tak bergeming diatas sajadah. Namun hatinya remuk, ia perlu tempat bercurah hati.
Deg! Rabil tersentak tegang. Rasanya mungkin dia salah dengar atau apa. Tapi, Rabil tak ingin Bintang memperjelas kata-katanya lagi, dan Rabil saat itu tak bisa mencerna apapun. Tiap kata yang terucap dari mulut Bintang terdengar tak nyaman. Apa benar Bintang memutuskan hubungannya dengan Rabil? Rabil ingin bertanya, resah. Namun ia terlalu takut menerima kenyataan. Hatinya sesak, tak tahu harus berkata apa. Dalam keadaan yang tak diduganya, Rabil akhirnya bangkit berdiri, beranjak pergi meninggalkan Bintang yang menatapnya berlalu. Kini, Rabil mengurung diri dikamar. Masih dengan mukena lengkap yang ia kenakan, selepas shalat maghrib. Rabil terduduk murung dan tak bergeming diatas sajadah. Namun hatinya remuk, ia perlu tempat bercurah hati.
***
3 bulan telah berlalu sejak hari itu. Tak ada lagi gelisah tersisa di hati Rabil. Memang sudah tiga bulan berlalu pula Rabil kehilangan kontak dengan Bintang, awalnya terasa sulit, namun buktinya Rabil mampu untuk tidak bergantung pada laki-laki itu. Kini yang Rabil fikirkan adalah bagaimana caranya ia bisa fokus menjadi mahasiswa berkualitas dan lulus secepat mungkin. Seulas senyum terlukis diwajahnya. "Hari ini harus hebaaaatt!" seru Rabil memotivasi diri. Matahari sudah menyembul hangat menyinari pagi, tapi Rabil masih betah duduk diatas sajadahnya dengan mukena lengkap dan al-qur'an kecil ditangannya. Rabil sadar, hanya Allah-lah yang mampu menerima curahan hatinya dengan baik. Yang dengan sabarnya selalu mendengar segala gemuruh amarah dan gelisahnya, hingga akhirnya hatinya mau bersabar, bersyukur, dan ikhlas mengolesi rindu dengan hal-hal bijak. Diatas sajadah inilah Rabil mengerti, diatas sajadah ini pula Rabil berserah. Biarlah kerinduannya pada Bintang menciut, tergantikan rindu pada sang Khalik yang menggebu-gebu setiap harinya. Rabil tentunya akan mencari jawaban tentangnya dan Bintang, namun melalui jalan yang seharusnya, melalui perantara yang paling tepat dari semua yang tepat.