Siang itu, aku kembali menanti. Awal sebuah
perjalanan yang selalu mendebarkan. Tiap sudut boarding lounge dimana aku
menunggu terasa sepi, aahh.. mungkin hanya sedikit orang yang memiliki
destinasi yang sama denganku, pikirku. Hari ini, Minggu 29 November 2015 aku
terlampau bersemangat tak sabaran. Aku memutuskan untuk mengunjungi destinasi
baru yang dulunya masih terasa asing dan bahkan terpikir untuk mengunjunginya
saja aku tak berani. Aku tak henti-hentinya mengetuk-ngetukkan kedua ujung
sepatuku, bersiul riang, membayangkan apa saja yang akan kulihat dalam dua,
atau tiga, atau empat jam kemudian. Aku berkali-kali memperhatikan
boardingpass yang kupegang, lalu beralih pada papan digital yang menampilkan
nama-nama destinasi dan nomor boarding gate-nya. Sejenak, aku termangu dan
bergegas melihat waktu yang tertera di jam tanganku. ‘Ini sudah waktunya untuk
masuk, tapi kok gate nya masih sepi?’ gumamku agak panik. Kemudian aku bangkit
dan mencari nomor boarding lounge tempatku menunggu sedari tadi. “Ya Allahhhh!”
Aku menimpuk jidatku kesal setelah mendapatinya. Merasa bodoh setengah mati.
Aku cepat-cepat berseru pada Citra, partner perjalananku kali ini untuk segera
berlari mencari boarding lounge yang seharusnya. Sesantai itukah kita
sampai-sampai bisa menunggu di ruang tunggu yang salah?
Kudapati antrian yang panjang di boarding gate saat aku
memasuki lounge yang seharusnya aku berada sejak tadi. Aku dan Citra langsung
berbaris di antrian terakhir. Ku edarkan pandangan dan melihat wanita setengah
baya berparas timur tengah ber-coat
hitam-panjang dan lelaki berbadan tinggi tegap bermata biru, rambut pirang, dan
hidung mancung itu mungkin sama-sama sedang asik memperhatikan apron yang kini terlihat
dibalik kaca-kaca besar transparan bandara. Akibatnya aku pun tertarik dan ikut mengalihkan
pandanganku kearah apron diluar sana, melihat beberapa pesawat yang terparkir
disana. Namun itu tak berlangsung lama, karena edisi melamunku terhenti setelah mendengar suara salah satu petugas
berbahasa Spanyol yang sedang adu mulut dengan salah satu passenger yang
entahlah kenapa terlihat keras kepala, mengundang tontonan. Tapi aku masa bodo,
malas ikutan ketar-ketir liat orang berantem. Satu-persatu penumpang pesawat
berjalan melewati boarding gate dan memasuki telescopic gangway yang
membuatku merasa seperti berjalan di lorong waktu. Akhirnya, ujung lorong ini
membawaku langsung berada di pesawat. Ini akan jadi direct flight anatara dua
negara, melihat di ETA (Estimate Time of Arrival) yang tertera di boarding
pass, penerbangan ini hanya akan memakan waktu kurang lebih satu setengah jam.
Aku bergegas mencari nomor kursi ku sebelum berdesakan nantinya. Setelah
kutemukan, aku melepas ranselku, menyimpannya ke kabin yang ternyata lumayan
tinggi dan membuat kakiku harus berjinjit-jinjit. Akhirnya aku bisa duduk
dengan tenang next to the window. Momen yang agak sulit memang untuk penumpang
di kelas ekonomi, apalagi jika tidak melakukan reservasi terlebih dahulu atau
maksa-maksa petugas tiket untuk membooking tempat duduk dekat jendela. Haha.
Setelah rangkaian prosedur yang ada didalam pesawat, pesawat
yang kunaiki akhirnya take off. Aku semakin bedebar, menantikan hal-hal yang
tidak pasti. Dari jendela tempat dudukku, aku melihat pemandangan yang takjub.
Sayap kiri pesawat yang bertuliskan Ryan Air dan pemandangan dibawah sana
membuatku tak tahan untuk mengabadikan momen dengan beberapa jepretan. Klise
memang tapi apa salahnya mengabadikan sesuatu yang indah bukan? Semakin
jauh pesawat ini mengerahkan tenaganya, semakin berbeda pemandangan yang
kudapati dibawah sana, dari yang tadinya masih terlihat deretan rumah, gedung,
dan jalanan, kini berganti dengan arakan awan yang berjajar, atau kadang aku
berada lebih tinggi diatas awan, terlihat pula bentangan samudra dan lihat!
Didepan sanaaaaaaa, aku melihat deretan gunung bersalju yang agung. Ya Allaaahh,
begitu besarkah kekuasaanmu? kali pertama aku melihat deretan salju didepan
mata membuatku tak bisa menahan haru. Sebentar lagi, sebentar lagi, aku
akan menyapanya.. “Bonjour Paris!”